Kamis, 22 Juni 2017

HAKEKAT MANUSIA MENURUT LUDWIG ANDREAS FEUERBACH


Image result for hakikat manusia menurut feuerbach



Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filsuf-ateis yang lahir di Bavaria, Jerman. Pada usia muda ia tertarik dengan soal-soal keagamaan. Setelah usia 19 tahun, ia pergi ke Heidelberg University untuk belajar teologi. Pada tahun 1824, Feuerbach pindah ke Berlin, dimana ia mengikuti kuliah-kuliah Hegel. Ia pun mulai meminati filsafat, dan meninggalkan teologi.

Tesis utama Feurbach tentang Allah demikian: Allah adalah hasil pikiran manusia dan bukan sebaliknya. Perihal adanya manusia adalah realitas konkret yang tidak terbantahkan, an sich. Inilah dasar kritik Feuerbach yang membawanya pada sebuah konklusi bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia tetapi Allah adalah hasil/ ciptaan angan-angan manusia

Allah Sebagai Proyeksi Diri Manusia memiliki kemampuan merefleksikan hakikatnya sendiri. Hal ini berarti bahwa manusia sadar diri. Hakikat manusia bagi Feuerbach terdiri dari rasio, kehendak dan hatinya. Rasio, kehendak dan hati ini dapat diidealisasikan sampai tak terhingga. Tampak bahwa gambar yang ideal dari hakikat manusia kemudian dianggap sebagai sifat-sifat yang melekat dalam diri Allah. Allah dijustifikasi sebagai Yang Tertinggi, Maha Sempurna, yang memiliki semua sifat ideal dari cita-cita hakikat diri manusia. Dalam pandangan Feuerbach, Allah yang digambarkan oleh manusia di sini adalah manifestasi dari angan-angannya akan entitas tertinggi yang sifatnya melampaui dirinya. Jelas bagi Feuerbach bahwa Allah adalah proyeksi dari kehendak manusia, karena sifat-sifat yang digambarkan manusia sebagai identitas Allah adalah bentuk sempurna dari hakikatnya sendiri. Hakikat Allah adalah hakikat manusia yang telah dibersihkan dan disuling dari segala keterbatasan atau ciri individualnya lalu dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Manusia mengobjektifkan hakikatnya dalam suatu subjek fantastis, hasil khayalannya semata-mata. Dan itulah Allah dalam pemahaman Feuerbach. Karena Allah adalah substansi ideal dari hakikat diri manusia, maka agama adalah mimpi, fantasi manusia yang menggambarkan situasi manusia yang serentak menyadari sumber kepuasan bagi keinginan untuk mengatasi situasi deritanya, ketergantungannya. Ia berusaha mengatasinya dengan meneriakkan pada tujuan imajinasinya, yakni agama.  Manusia pada gilirannya berpaling pada agama karena menemukan bahwa mereka bebas dari deritanya dalam fantasi-fantasinya. Karena agama menggambarkan sebuah keinginan, agama adalah pelarian manusia mencari di surga apa yang tidak dapat ditemukan di bumi sebagai kompensasi frustrasinya. Di sini, agama adalah suatu ungkapan ketergantungan. Agama adalah konsekuensi dari pengakuan manusia akan keterbatasannya. Manusia Mengalami Alienasi Dengan menempatkan bentuk sempurna dari hakikat dirinya sebagai hakikat Allah, maka manusia mengalami alienasi. Manusia mengakui dalam Allah apa yang diingkari dalam dirinya. Karena Tuhan adalah cinta, kita harus membaca cinta itu Ilahi, karena Tuhan terharu, kita harus membaca keharuan adalah Ilahi, yaitu sesuatu yang bernilai, megah, baik pada dirinya.  Menurut Feuerbach daya-daya ini (bernilai, megah, baik) ditempatkan melebihi dan mengatasi manusia serta mentransformasikannya ke dalam pribadi Ilahi yang dibedakan dari manusia. Agama adalah ekspresi keterasingan manusia. Sejak daya-daya Allah identik dengan daya-daya manusia terjadi apa yang ia sebut "memperkaya Allah sambil memiskinkan diri atau substansi manusiawinya". Dengan demikian manusia mengakui dalam Tuhan apa yang ia sangkal dalam dirinya sendiri. 

Dengan memproyeksikan dirinya ke luar (ke dalam sifat-sifat Allah), maka manusia membangun tembok pemisah dengan dirinya sendiri, menganggap hal-hal yang diproyeksikannya sebagai sesuatu yang lain dari dirinya. Manusia lalu merasa bahwa hasil proyeksinya itu menghadapi dirinya sebagai objek. Manusia mendapati dirinya lebih rendah, memiluhkan, menyedihkan, penuh dosa daripada hasil proyeksi dirinya. Di situ pula, ia menyadari ketidaksanggupannya untuk mencapai hakikat dirinya yang utuh. Proyeksi dirinya dianggap sebagai eksistensi yang ada pada dirinya, yang disembahnya, ditakuti, dihormati sebagai Allah. Karena manusia menjadi takut, ia seakan-akan menjadi lumpuh; ia tidak berusaha untuk mewujudkan diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Dari pada merealisasikan hakikatnya, ia secara pasif mengharapkan berkah daripadanya. Ia mengasingkan sifat-sifat dari hakikatnya pada Allah dan menyembah Allah sebagai yang mahakuat, maha adil. Keyakinaan ini mencegah manusia untuk merealisasikan hakikatnya karena ia diblokir oleh pengakuan akan ketidakmampuannya untuk mengejar kesempurnaan hakikatnya. Manusia merasa terasing dari dirinya sendiri. Karena Allah adalah alienasi diri manusia dari dirinya sendiri, agama tentu adalah sebuah kenyataan yang harus diatasi oleh manusia sendiri. Manusia bisa mengatasi keterasingannya itu kalau ia sadar akan hakikatnya sendiri. Tanggapan Feuerbach telah berhasil memberi pendasaran ilmiah bagi ateisme. Kata Feuerbach, "Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam Allah ia harus menemukan dirinya di dalam Allah". Ia juga menjelaskan hakikat yang palsu atau teologis dari agama, artinya, pandangan yang menganggap Allah mempunyai keberadaan yang terpisah di luar manusia. Karena itu muncullah berbagai keyakinan yang keliru, seperti keyakinan akan wahyu yang menurutnya tidak hanya merusak pemahaman moral, tetapi juga "meracuni, bahkan menghancurkan, perasaan yang paling ilahi dalam manusia, yaitu pengertian tentang kebenaran". Keyakinan akan sakramen seperti Perjamuan Kudus, juga dilihat oleh Feuerbach sebagai sepotong materialisme keagamaan yang "konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas". Namun, meskipun Feuerbach melihat Allah sebagai proyeksi dari diri manusia, ini tidak berarti bahwa Allah itu tidak lebih dari sekedar proyeksi. Feuerbach pun belum menyentuh pertanyaan ini; apakah memang Allah itu tidak lebih daripada sekedar proyeksi diri mansuaia? Pertanyaan dasariah apakah Allah itu ada atau tidak, juga belum ia sentuh. Feuerbach hanya berusaha mengidentifikasi Allah sebagai hasil angan-angan manusia. Ia hanya bisa mengatakan bahwa Allah bisa dimanipulasi oleh orang beragama  yang merasa terblokir dambaannya. Oleh karena itu seandaianya Allah itu memang ada, maka tentu tidak ada salahnya jika manusia itu menyembahnya, menyandarkan diri pada-Nya sebagai entitas tertinggi, yang lebih dari sekedar proyeksi diri manusia. Justru dalam pengakuannya akan Allah (jika Allah benar-benar ada) manusia menemukan jati dirinya. Di sisi lain, seandainya memang Allah adalah proyeksi diri manusia, maka sulitlah untuk menjelaskan bahwa sifat-sifat sempurna yang kita lekatkan pada Allah niscaya dapat diraih oleh manusia. Manusia pada dasarnya makhluk terbatas, dan bagi orang beragama (yang mengakui Allah), maka hal yang khas bagi Allah adalah keberadaanya yang tak terhingga. Dan manusia sebagai makhluk yang terbatas, dalam lingkup pengalaman inderawinya, tidak pernah mengalami apa yang tak terhingga itu. Maka, tidak mungkin bahwa hakikat tak terhingga (yang ditunjukkan dengan kata maha-) itu sebagai proyeksi dari hakikat manusia karena hakikat ketakterhinggaan dalam kemanusiaan tidak ada. Dapat dikatakan bahwa manusia bisa beragama dan percaya pada Allah justru karena kemampuan jiwanya melampaui batas-batas kemampuan empiris-indrawinya. Atau dalam pandangan antropologis filosofis modern manusia adalah makhluk yang  mempunyai dimensi transenden justru karena ia mempunyai jiwa sebagai prinsip unifikasi yang imaterial sifatnya dan terbuka secara tidak terbatas pada "ada", bahkan pada Ada Tertinggi, Allah sendiri. 

Dengan mengatakan Allah sebagai proyeksi dari angan-angan  manusia akan hakikatnya yang sempurna, maka Feuerbach jatuh dalam antropologi yang justru mempermiskin pemahaman mengenai manusia. Manusia bagi Feuerbach hanya dilihat sebagai makhluk inderawi. Ia dilepasakan dari kemampuan lain di luar kemampuan inderawinya. Itu semua tidak diperhatikan Feuerbach. "Secara tegas dapat dikatakan, manusia bagi Feuerbah adalah manusia kurus, materialistik, tidak kaya, dan monodimensional."Ia mengajarkan suatu antropologi yang berpretensi memperkaya manusia. Namun ironinya, antropologi Feuerbach malah mempermiskin manusia--justru lantaran ia membuang agama dari padanya. Meski demikian konsep Allah sebagai proyeksi diri manusai ada manfaatya juga bagi orang-orang beriman. Kerapkali orang beriman (terutama para pemimpin) melakukan sesuatu atas nama Allah, padahal itu adalah pantulan dari kehendaknya sendiri untuk berkuasa, mendominasi dan mendapat kepuasan batin atau mungkin juga demi pemenuhan hidden needs dalam dirinya. 

Fantasi saleh yang keterlaluan-bukan tindak mngkin merupakan pelarian khayal dari kemalasan dan ketakutan untuk  berusaha. Maka bagi orang bergama, sisi  positif dari konsep Feuerbach adalah diajak bahkan didesak untuk mawas diri dan wapada terhadap laku hidup beragam karena Allah itu yang dijadikan sebagai sandaran nilai-nilai adalah hasil proyeksi dari kehendak manusia sendiri.

Kesadaran Manusia

Menurut Ludwig Feuerbach manusia memiliki totalitas hakikat manusia yang sejati. Hal itu terungkap dalam akal budi, kehendak dan hati yang ada pada diri manusiawi. Pendapat ini seolah menerima kenyataan lain di luar empiris. Namun kesan ini tidaklah benar karena hati berkaitan dengan cinta atau perasaan. Hati yang berkaitan dengan cinta atau perasaan dikategorikan ke dalam bidang pengalaman konkret (indrawi). Apakah akal budi dan kehendak itu kenyatan rohaniah? Ia mengatakan bahwa akal budi dan kehendak adalah akativitas jiwa, namun sifatnya bukan empiris karena jiwa itu sendiri satuan menyeluruh dari semua indra. Keindrawian adalah hakekat manusia.

Kenyataan yang konkret itu adalah alam material. Alam material dapat diketahui oleh pikiran; objek dapat diketahui melalui subjek yang sadar. Alam material adalah dasar bagi kesadaran. Manusia mampu membedakan dirinya dari alam dan manusia mampu merefleksikan dirinya. Ketika manusia mampu merefleksikan dirinya, ternyata manusia sadar bahwa dirinya mempunyai keterbatasan-keterbatasan.

Bagi Feuerbach, kemanusiaan, yang diproyeksikan pada sosok Allah dalam agama, merupakan sesuatu yang positif karena melalui kemanusiaan, manusia bisa melihat hakikatnya yang sebenarnya. Namun, kesadaran manusia akan hal itu justru ditenggelamkan oleh kekuatan dogma-dogma agama. Akibatnya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri dan manusia menganggap proyeksi itu sebagai sesuatu yang real. Manusia menjadi terasing dengan hakikatnya sendiri bahkan takut dan menjadi lumpuh di hadapan proyeksinya sendiri. Manusia memohon berkah dari proyeksinya secara pasif tanpa ada upaya realisasi atas potensi-potensi yang ia miliki. Agama adalah batu sandungan bagi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.

AGAMA BAGI FEUERBACH

Agama menurut Feuerbach merupakan suatu gambaran akan keinginan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia.

Kebijaksanaan, karsa, keadilan, cinta kasih, sekian banyak atribut kekal yang seluruhnya merupakan hakikat manusia yang sesungguhnya, dan yang (oleh manusia) diproyeksikan secara spontan di luar dirinya; ia mengobjektifkan hakikat itu dalam suatu subjek fantastis, suatu hasil khayalan semata- mata yang disebutnya Allah. Maka dari itu inteligibilitas tertinggi menjadi sesuatu yang “sungguh- sungguh terdapat di luar pikiran kita, di luar kita, dalam dirinya dan demi dirinya”.

Teori proyeksi dari Feuerbach diambil alih oleh Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre. Tetapi pendapat Feuerbach tentang peranan agama cukup berbeda dari pendapat mereka. Menurut Feuerbach agama mengajar betapa agung manusia. Semua mimpi manusia diberi bentuk dan nama dalam Allah.” Allah itu bukan asal manusia. Manusia justru asal Allah.

KRITIK ATAS TEORI PROYEKSI
  •  Sekalipun Feuerbach memakai bermacam- macam dokumentasi, namun dia tidak pernah sungguh- sungguh mengajukan bukti tentang apa yang diakuinya secara tegas. ”Dokumentasinya tidak dipergunakan untuk membangun sesuatu, melainkan untuk mengilustrasikan beberapa tesis yang sudah ditetapkan lebih dahulu. Keputusannya sudah diambil sebelum ia mengangkat pena: agama itu hanya dapat berupa suatu ilusi belaka”.
  •  Dia menggunakan gagasan agama dengan cara yang sama sekali tidak membeda- bedakan, dengan menggolongkan semua agama ke dalam ketegori teisme. Dia tidak berusaha untuk membedakan antara Allah menurut iman agama- agama monoteis dan dewa- dewa agama primitif. Dengan demikian, dia tidak menghormati realitas historis kenyataan religious.
  •  Dia hendak kembali kepada manusia konkret. Tetapi sesungguhnya, dia hanya membahas manusia sebagai hakikat generik: objek sejati agama, menurutnya, bukanlah Allah, melainkan hakikat manusia ideal. Tentang hal ini Engels kemudian berkata,”kultus manusia abstrak merupakan pusat agama baru menurut Feuerbach.”
  •  Adapun kepuasan- kepuasan yang dijanjikan oleh Feuerbach untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kebahagiaan mutlak bersifat khayalan saja. Feuerbach merampas individu konkret (satu- satunya yang bereksistensi) dari rasanya untuk yang mutlak. Dengan demikian, dia memperlihatkan dengan jelas bahwa, jikalau Allah ditolak, ditolak juga semua fundamen yang bisa mendasarkan nilai riil kepribadian manusiawi. Individu konkret tidak masuk hitungan lagi, sedangkan suatu abstraksi, yaitu manusia sebagai jenis, dianggap sebagai realitas yang benar serta sempurna dan mutlak.
  •  Prinsip epistemologi yang salah: dia menyatakan sebagai prinsip umum bahwa satu- satunya objek pengetahuan manusia hanyalah kodrat manusia serta atribut- atributnya. Ketika manusia memikirkan “yang tak terbatas”, dia sebenarnya memikirkan ciri tak terbatas dari pikirannya sendiri. Objek akal budi manusia tidak lain daripada akal budi sendiri yang memikirkan dirinya; dan sama halnya dengan kemampuan- kemampuan lain: objek mereka masing- masing adalah mereka sendiri. “Seakan- akan tidak ada lagi objektifitas. Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan. Dan subjektivisme ini dijadikan suatu dogma”.




Sumber :




Budi Hardiman, F. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia

Hamersma, Harry. 1990. Tokoh-tokoh  Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Lili Tjahjadi, Simon Petrus. 2006. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius.

Magnis-Suzeno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Schacht, Richard. 1970. Alienasi (diterjemahkan oleh I Mahyudin dari judul aslinya Alienation, Anchor Books, New York, 1990). Yogyakarta: Jala Sutra




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HAKEKAT MANUSIA MENURUT LUDWIG ANDREAS FEUERBACH

Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filsuf-ateis yang lahir di Bavaria, Jerman. Pada usia muda ia tertarik dengan soa...