• Filsafat Rasionalismenya membawa dampak terhadap pandangan tentang manusia. Pemikiran-pemikiran penting dalam filsafatnya:
    · Ada dua bentuk realitas yang berbeda, dua “substansi”. Yang pertama adalah gagasan (res cogitan), atau “pikiran”, dan yang kedua adalah perluasan (res extensa). Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam ruang dan tidak mempunyai kesadaran.
    · Kedua substansi tersebut tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung pada pikiran à dualisme.
    · Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan – itu terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung pada realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara “roh” dan “materi”. Pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah. Namun pikiran dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls ‘tercela’ semacam itu dan bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat. Maka manusia mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul daripada badan.
  • Ø Filsafat Manusia Menurut Rene Descartes
Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes – 2, 2002). Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatu yang benar.
Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes’ Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
Dari pemikiran Descartes.
1.akhir hidup manusia itu dapat ditentukan oleh apa yang manusia itu lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup manusia).
2.Descartes sudah secara tersirat menyadari bahwa memang ada suatu kepastian selain kepastian “cogito, ergos um” itu (I think therefore I am), yaitu kebenaran mutlak yang bukan dibuat oleh manusia, tetapi dapat dirasakan oleh manusia di dalam hatinya yang tentunya bukan lagi ditinjau dari apa yang dianggap benar oleh dirinya sendiri tetapi sudah melibatkan seorang Oknum yang berasal dari luar dirinya, dimana oleh Oknum inilah kebenaran ini dinyatakan dalam pribadi manusia sehingga memahami apa yang disebut sebagai kebenaran yang benar-benar benar. Kesadaran akan adanya Oknum, sesungguhnya bukan hal pembuktian yang dapat dilakukan oleh rasio manusia karena untuk menerima sesuatu sebagai suatu kebenaran mutlak dalam diri seseorang perlu ada kesadaran serta pengalaman yang terkadang tidak dapat didefinisikan secara logis (iman) sampai akhirnya kita bisa mengakui secara sadar mengenai eksistensi dari sebuah kebenaran yang mutlak dan kebenaran ini yang menjadi pedoman bagi hidup manusia dalam bertindak, berkata-kata dan berpikir.
Cogito ergo sum
Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.
Cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada). Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dan Descartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berfikir. Maka,Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan,ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku.
Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail.
3.Descartes memegang prinsip bahwa dia cenderung memegang sesuatu hal yang diragukan sama yakinnya ketika dia memegang sesuatu yang sudah pasti (Descartes, 1983, p. 26). Hal ini dilakukan, karena Descartes meyakini bahwa keragu-raguan merupakan awal untuk memperoleh suatu kepastian. Dia berpikir bahwa kepastian akan diperoleh ketika keragu-raguan secara perlahan dapat terjawab.
5.Descartes mengatakan untuk selalu berusaha mengalahkan diri sendiri, dan bukannya nasib; mengubah keinginan-keinginan sendiri, dan bukannya merombak tatanan dunia; serta membiasakan diri untuk meyakini bahwa tidak ada satupun yang ada di bawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita (Descartes, 1983, p. 27).

Ø Filsafat Rene Descrates Tentang Manusia

Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650) adalah bapak “filsafat modern”. Descartes digolongkan sebagai seorang tokoh pemikir aliran filsafat rasionalisme. Aliran Rasionalisme mempercayai sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya dan mencukupi adalah akal. Pengetahuan yang didapat melalui akal sajalah yang memenuhi sarat aturan umum dan sarat pengetahuan ilmiah. Bagi seorang rasionalis akal tidak memerlukan pengalaman karena pengalaman berfungsi untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat melaui akal. Metode berpikir yang dipakai adalah metode yang dipakai dalam ilmu pasti metode deduktif.
Aliran rasionalis filsafat modern membangun teori berpikir dengan berfokus pada manusia sebagai subject pemikiran. Mengambil jarak dengan tradisi dan membangun aturan-aturan dalam berpikir atau sistematika dalam mengambil keputusan. Filsafat yang dibangun oleh kaum rasionalis mempunyai sistem bangunan yang pasti. Descartes membangun sistematika filsafatnya berdasarkan pada metode keraguan (dubium methodicum). Metode berpikir Descartes berangkat dari satu hal yang jelas dan terpilah (clear and distinctly).
Intuisi bagi Descartes adalah kegiatan intelektual atau penampakan yang jelas dan tidak meninggalkan keraguan didalam pikiran. Intuisi memberikan kebenaran yang mendasar, sederhana dan tidak dapat deperkecil lagi “ saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum). Intuisi memberikan hubungan antara kebenaran yang satu dengan yang lainnya. Deduksi adalah sejenis intuisi yang berbeda dengan silogisme, deduksi harus berangkat dari kebenaran yang tidak teragukan.
Descartes membangun teori berpikirnya didasari oleh :
1. Tidak menerima sesuatu sebagai kebenaran sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas sebagai kebenaran.
2. Membagi masalah yang rumit menjadi beberapa bagian yang mungkin.
3. Memulai berpikir dari sesuatu yang gampang dan sederhana kemudian meningkat tahap demi setahap kearah yang lebih rumit.
Descartes kemudan menyusun beberapa skema berpikir dubium methodicum, tahap awal adalah meragukan segala sesuatu, argumentasi mimpi, cogito ergo sum, argumentasi penyesatan, Tuhan, argumen tentang Tuhan dan sifat asasi benda.
Filsafat Descartes
Filsafat Descartes berangkat dari kebutuhan bahwa setiap orang untuk mendapatkan kebenaran yang telah dipercaya. Dalam hal ini Descartes mengusulkan pengunaan matematika untuk membuktikan kebenaran yang sudah didapat. Kemudian dia membangun teori yang sagat radikal yaitu metode keraguan (the method of doubt). Metoda ini megharuskan adanya keraguan untuk seluruh kepercayaan yang telah ada sampai dapat dibuktikan kebenarannya.
Dia juga menyadari kemungkinan untuk salah dalam menangkap pencerapan panca indera (contohnya ketika benda dimasukkan kedalam air). Sehingga perlu juga dikaji seluruh pengetahuan yang didapat melalu indera. Kemudian dia juga menyangsikan kebenaran saat berada pada sebuah situasi apakah itu didalam mimpi atau dalam keadaan sadar. Bisa juga kita selalu dalam keadaan bermimpi atau juga hilang kesadaran? Atau juga pengalaman yang didapat adalah salah?
Didalam bukunya Meditaton, dia mengajak kita untuk duduk didepan api dan dengan baju panjang, kemudian menayakan apa bedanya hal itu dengan orang yang rusak ingatan yang sedang membayangkan dirinya jadi seorang raja. Didalam mimpi Descartes mendapati juga situasi yang sama ketika dia merasa sedang belajar tetapi pada kenyataannya dia berada di atas tempat tidur. Tetapi untuk kasus seperti hitungan matematika tidak akan berbeda pada saat tidur dan terjaga (satu ditambah satu adalah dua baik tidur atau terjaga).
Untuk mengatasi argumentasi mimpi Descartes membangun argumentasi Tuhan yang maha agung dan maha pemurah tidak akan menyesatkan ciptaanNya. Setelah argumentasi Tuhan muncul kemudian argumentasi penyesatan oleh setan (evil genius). Setan adalah substansi yang mempunyai kekuatan untuk menyesatkan. Situasi ini memaksa Descartes untuk selalu mencurigai segala sesuatu, sampai hal itu dipastikan kebenarannya melaui proses berpikir.Berpikir adalah salah satu proses untuk menghindari kesesatan yang disebabkan oleh setan. Terakhir, Descartes sampai pada kesimpulan “Saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum).
Kritik Terhadap Descartes
Descartes mendukung doktrin pemisahan antara jiwa dan badan (mind and body) atau terkenal sebagai Cartesian Dualism. Kritik terhadap Descartes muncul ketika doktrin dualisme berhadapan dengan tesis “saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum). Saya berpikir adalah kerja dari otak yang terkait erat dengan jiwa (mind) yang merupakan satu premis yang jelas dan terpilahkan. Saya hasil dari berpikir adalah eksistensi yang merupakan satu perluasan dari jiwa kedalam tubuh. Tubuh adalah premis yang self evident dan sesuatu yang innate dan tidak perlu pembuktian. Kesulitan muncul ketika akan menyatukan antara saya berpikir (jiwa) dan saya (tubuh) yang merupakan hasil dari berpikir. Penyatuan antara “saya berpikir” dengan “saya” dalam tesis “saya berpikir maka saya ada” akan menggangu konsistensi doktrin dualisme yang dianut Descartes.
Kerancuan diatas terlihat dari silogisme berikut:
Jiwa tidak sama dengan tubuh
Tubuh tidak sama dengan jiwa
Jadi Jiwa dan tubuh adalah berbeda (Bagaimana dua hal yang berbeda menjadi satu dan satu bagian mengukuhkan bagian yang lain?. )
Kritik lain yang sejalan dengan judul makalah ini adalah Eksistensi manusia tidak mungkin dibuktikan dengan berpikir. Eksistensi manusia adalah sesuatu yang swabukti dan ketika bergabung dengan jiwa menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan tentang eksistensi adalah pengetahuan yang praktikal. Berpikir yang merupakan kerja dari otak adalah sebuah pengetahuan yang reflektif. Eksisensi manusia dan proses berpikir adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. “Saya berpikir maka saya ada”, adalah sebuah kerancuan memahami pengetahuan praktikal dan pengetahuan reflektif yang merupakan dua hal berbeda. Penyatuan antara pengetahuan praktikal dan pengetahuan reflektif adalah tidak mungkin. Sama juga ketika mencoba membuktikan penyatuan antara subyekifitas dan obyektifitas juga antara konsepsi dan eksistensi.